Kewajiban memang senantiasa berimpit dengan hak. Karena itu, jangan sampai selalu bicara hak tapi melupakan kewajiban. Begitu pula sebaliknya--Sudijono.

Reuni Menwa Mahakarta

Reuni Alumni Menwa Mahakarta, se-Jabotabek, Banten dan Jawa Barat, Anjungan Yogyakarta, Taman Mini Indonesia Indah.

Reuni Menwa Mahakarta

Reuni Alumni Menwa Mahakarta, se-Jabotabek, Banten dan Jawa Barat, Anjungan Yogyakarta, Taman Mini Indonesia Indah.

Reuni Menwa Mahakarta

Reuni Alumni Menwa Mahakarta, se-Jabotabek, Banten dan Jawa Barat, Anjungan Yogyakarta, Taman Mini Indonesia Indah.

Reuni Menwa Mahakarta

Reuni Alumni Menwa Mahakarta, se-Jabotabek, Banten dan Jawa Barat, Anjungan Yogyakarta, Taman Mini Indonesia Indah.

Reuni Menwa Mahakarta

Reuni Alumni Menwa Mahakarta, se-Jabotabek, Banten dan Jawa Barat, Anjungan Yogyakarta, Taman Mini Indonesia Indah.

Kursus Kader Pembinaan Mental Nasional

Resimen Mahasiswa satuan 811 "Wira Cakti Yudha" UIN Maliki Malang mengadakan kegiatan Kursus Kader Pembinaan Mental Nasional (Suskabintalnas) bagi Resimen Mahasiswa se-Indonesia, yang akan dilaksanakan pada tanggal 17-22 Oktober 2011 di Dodik Kejuruan Rindam V/Brawijaya.

Kursus Kader Pelaksana Tingkat Nasional (Suskalaknas) TA 2011

Komando Nasional Resimen Mahasiswa Indonesia kembali akan menyelenggarakan kegiatan Kursus Kader Pelaksana Tingkat Nasional (Suskalaknas) TA 2011.

Kejuaraan Menembak antar Satuan MENWA

Komando Resimen Mahasiswa Batalyon II/Universitas Padjadjaran mengadakan Kejuaraan Menembak antara satuan Menwa se-Indonesia.

Jumat, November 04, 2011

KDS dan GP 1 Resimen Mahasiswa Indonesia Angkatan XXIII

Di dalam usaha meningkatkan kualitas anggota Resimen Mahasiswa guna menyiapkan kader penerus pengurus, perlu diadakan pendidikan yang kurikulumnya memiliki keterkaitan dengan tugas-tugas di setiap Kesatuan Resimen Mahasiswal. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Satuan Menwa Pasopati Universitas Negeri Yogyakarta, akan menyelenggarakan Kursus Dinas Staf dan Gladi Posko 1 Resimen Mahasiswa Indonesia Angkatan XXIII Tahun 2011. Informasi lebih lanjut dapat menghubungi Latif Uki di 085640704895 atau siti di 085729182905, atau melalui FB (klik KDS & GP 1 Resimen Mahasiswa Indonesia Angkatan XXIII) . Semoga informasi ini bermanfaat.

Bung Karno dan Resimen Mahasiswa

Pada sekitar awal tahun 1960, Bung Karno melakukan kunjungan kerja ke Bandung untuk menyampaikan kuliah umum kepada para Mahasiswa Bandung di halaman depan Kampus ITB Jl. Ganesha.

Setiba di Lapangan Udara Andir (Husein Sastranegara) Presiden/Panglima Tertinggi Soekarno disambut oleh Penguasa Perang Daerah/Panglima Kodam VI Siliwangi Kol. R.A. Kosasih. Setelah menyalami para penyambutnya kemudian Presiden dipersilakan untuk memeriksa Pasukan Jajar Kehormatan bersenjata dengan sangkur (penghormatan senjata dengan pasang sangkur menurut ketentuan hanya diberikan kepada Sang Saka Merah Putih dan Presiden RI). Dengan didampingi oleh Pangdam Siliwangi, Presiden/Panglima Tertinggi diiringi Korps Musik memeriksa Pasukan Jajar Kehormatan yang memberikan penghormatan militer. Setelah itu, sebelum memasuki mobil yang akan mengantarnya ke Kampus ITB, Presiden bertanya kepada Panglima: "Kos, itu tadi pasukan dari mana, kok enggak pakai tanda pangkat?". Pak Kosasih menjawab: "Itu tadi adalah pasukan Resimen Mahasiswa yang sedang dipersiapkan untuk membantu "Operasi Pagar Betis" menumpas gerombolan DI/TII Kartosuwirjo".

Kemudian kepada Kol. R.A. Kosasih, Bung Karno berpesan agar dibina dengan baik karena mereka adalah calon-calon pemimpin. Diantara anggota Resimen Mahasiswa tersebut yang di kemudian hari menjadi tokoh nasional adalah Ir. Siswono Yudo Husodo.

Ketika PKI (Partai Komunis Indonesia) gagal membentuk Angkatan V (Buruh dan Tani yang dipersenjatai) karena ditentang oleh TNI (Menpangad Jend. Ahmad Yani), D.N. Aidit mengadu ke Bung Karno sambil mengajukan protes mengapa TNI diijinkan membangun Resimen Mahasiswa, sambil menunjukkan Radiogram Menko Hankam/Kasab No. AB/3046/64 tertanggal 21 April 1964 yang ditujukan kepada semua Panglima Daerah untuk membentuk dan menyeragamkan Resimen Mahasiswa yang ada di setiap Kodam.

Karena yang menandatangani Radiogram tersebut adalah Jend. A.H. Nasution sendiri, maka Pak Nas dipanggil oleh Bung Karno untuk klarifikasi. Kepada Bung Karno, Pak Nas menjelaskan tentang maksud dan tujuan Radiogram tersebut yakni:
  1. Menertibkan dan menyatukan bermacam-macam Resimen Mahasiswa yang timbul sebagai akibat adanya Instruksi Menteri PTIP Nomor 1 Tahun 1962 tanggal 15 Januari tentang Pembentukan Korps Sukarelawan di lingkungan Perguruan Tinggi dalam rangka Trikora Pembebasan Irian Barat.
  2. Sebagai titik awal untuk merintis Program Pendidikan Perwira Cadangan melalui Perguruan Tinggi (ROTC: Reserve Officer Training Corps).
  3. Dalam upaya melestarikan tradisi semangat bela negara dan patriotisme di kalangan intelektual muda seperti yang telah dibuktikan dalam perang kemerdekaan oleh Tentara Pelajar/Corps Mahasiswa.
Sebelum meninggalkan Istana, Pak Nas bertanya kepada Bung Karno, bagaimana kelanjutannya untuk mengikuti petunjuk Beliau. Jawaban Bung Karno amat singkat: "Teruskan!".

Sebagai akibat "instruksi" Presiden maka muncullah Resimen-Resimen Mahasiswa di setiap Kodam. Di Jawa Barat, Menteri PTIP Prof. Toyib Hadiwijaya memberi nama "Resimen Mahawarman". Di Jakarta Pak Nas memberi nama "Resimen Mahajaya". Di Yogyakarta Jenderal Ahmad Yani memberi nama "Resimen Mahakarta" dan seterusnya.

Di akhir tahun 1965, terdesak oleh demonstrasi-demonstrasi mahasiswa yang tergabung dalam KAMI dan terpengaruh oleh siaran Radio Australia yang menyiarkan berita bahwa TNI akan menggerakkan Resimen Mahasiswa, D.N. Aidit kembali mengadu ke Bung Karno di Istana dengan permintaan agar Bung Karno sesegera mungkin membubarkan Resimen Mahasiswa yang "ternyata" adalah tentaranya Nasution yang dibiayai oleh CIA. Ternyata setelah itu Bung Karno tidak membubarkan Resimen Mahasiswa tetapi malah membubarkan KAMI, bahkan HMI pun tidak dibubarkan.

Kisah-kisah tersebut dikisahkan sendiri oleh alm. Letjen. TNI. (Purn) R.A. Kosasih kepada Tjipto Soekardono sewaktu Tjipto Soekardono menjabat sebagai Kepala Staf Resimen Mahasiswa Mahawarman Jawa Barat pada tahun 1970.

Dahulu di Jawa Barat, anggota Resimen Mahasiswa sebelum menerima penyematan baret pada acara pelantikan, harus terlebih dahulu mengucapkan atau bersumpah yang disebut "Panca Dharma Satya Resimen Mahasiswa".

Panca Dharma Satya mengandung lima nilai kesetiaan, yakni:
  1. Setia kepada Sang Saka Merah Putih.
  2. Setia kepada Pancasila.
  3. Setia kepada Konstitusi (UUD 1945).
  4. Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  5. Setia kepada cita-cita dan nilai-nilai kejuangan Bangsa Indonesia.
Menurut Pak Sutikno Lukitodisastro (mantan Sekretaris Militer Presiden), Panca Dharma Satya itulah yang membuat Bung Karno tidak mau membubarkan Resimen Mahasiswa karena menganggap Resimen Mahasiswa merupakan salah satu wujud dari Nation and Character Building.

Kiriman:
Tjipto Soekardono
Gedung Juang 45
Jl. Menteng Raya 31 Jakarta Pusat

Sabtu, Oktober 29, 2011

Menwa Mahakarta Gelar Diklat SAR

Kegiatan Diklat SAR
BERNAS-JOGJA-Alumni Menwa Mahakarta menggelar kegiatan Pendidikan dan Latihan Search And Rescue (Diklat SAR), Sabtu (22/10) lalu. Diklat dibuka oleh Ketua Umum Alumni Menwa Mahakarta, Timbul Krishartanto. Diklat dalam rangka melaksanakan Program Kerja tahun 2011 dilaksanakan di IST Akprind dan di jembatan Babarsari. “Kegiatan Diklat SAR ini sebagai bentuk partisipasi nyata alumni dan Menwa Mahakarta kepada masyarakat Indonesia khususnya yang berada di wilayah DIY. Seluruh Anggota yg terlibat langsung dalam kegiatan ini,” paparnya. Melalui program itu, alumni dan Menwa Mahakarta masih setia dalam pengabdiannya kepada masyarakat DIY dan bangsa Indonesia. Sebab dengan kompetensi di bidang SAR, mereka dapat berperan dalam operasi SAR saat terjadi bencana.

Sementara Komandan SAR DIY, R Brotoseno ketika menerima serah terima peserta diklat mengungkapkan, para peserta diharapkan dapat mengikuti seluruh materi dengan baik Sehingga mereka dapat menyelesaikan kegiatan dan layak menjadi anggota SAR DIY Kompi Mahakarta. “Semua yang menjadi peserta diklat adalah yg terpanggil untuk melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan,” ujarnya. Brotoseno menambahkan, materi kelas Diklat SAR dilaksanakan di Aula IST Akprind. (*)

Jumat, Oktober 28, 2011

Menjemput Mbah Maridjan

Proses Evakuasi Korban Erupsi Merapi
Ponselku tiba - tiba berdering, teman saya Bobby seorang video journalist dari Al Jazeera memberi kabar. “Saya sudah di Jogja, sekarang sudah diatas, dekat rumah mbah Maridjan”, katanya agak terburu-buru. Sore itu, hari selasa, tanggal 26 Oktober 2010, pukul 16.00 wib saya berada di Ringroad utara depan monument Jogja Kembali, hujan sangat lebat. Saya terdampar disebuah rumah makan bersama Kinanti, anaku yang masih berumur 5 tahun kala itu. Saya mencoba melihat ke utara, semua gelap, hujan lebat membatasi pandangan saya. Kembali saya hanya bisa menunggu hujan mereda.

Kembali Bobby menelpon saya, “Mas, awan panas besar sekali, hujan batu dan pasir, saya meluncur turun mas”, katanya sangat panik. Saya terhenyak, perasaan saya campur aduk. Segera saya bergegas pulang, meski hujan sangat lebat. Saya harus naik ke Kinahrejo segera, perintah hati itu terus terucap di batin saya sepanjang perjalanan pulang menuju rumah.

Segera saya klik on pesawat radio yang terpasang di rumah, saya putar beberapa frekuensi yang berhubungan dengan Merapi, semua krodit, beritanya simpang siur. Segera  saya memacu sepeda motor, 15 menit kemudian saya sudah berada di pertigaan Balai Desa Umbulharjo. Kepanikan luar biasa terlihat ratusan orang yang ada disana.

Saya bertemu dengan Tonden, seorang pecinta alam senior Yogyakarta yang punya kedekatan khusus dengan Mbah Maridjan. Saya juga bertemu dengan Capung, bos dari Komunitas Lereng Merapi (KLM). Saya melihat kedua orang ini cukup panik. “Pey, Kinahredjo chaos, tidak ada orang diatas. Kita harus naik keatas”, ujar Capung kepada saya.

Mobil double cabin, milik Cahyo Alkantana menjemput kami. Selain saya, Capung dan Tonden ada beberapa teman yang ikut bersama kami, termasuk Iqbal anggota Kapakata yang sudah sekian tahun tidak bertemu. Juga ada Arbow, wartawan foto Tempo yang kebetulan bertemu di pertigaan Balai Desa Umbulharjo.

Perjalanan 10 menit itu cukup menegangkan, debu ada dimana-mana, pohon bertumbangan, rumah-rumah penduduk kosong ditingggalkan pemiliknya. Perjalanan kami terhambat pohon besar yang tumbang diatas pertigaan Ngrangkah. Team chainsaw mencoba memotong untuk membuka jalur ambulance masuk Kinahredjo.

Saya terus berjalan,  dibalik pohon saya menemukan jenazah di dekat sebuah motor, pikirku orang ini mencoba melarikan diri namun keburu awan panas menyergapnya. Saya tercekat, Kinahredjo porak poranda, api terlihat dimana-mana. Teriakan minta tolong sayup-sayup terdengar dari berbagai penjuru Kinahredjo.

Kami terus bergerak, debu tebal dan kondisi panas tidak menghalangi langkah saya. “Evakuasi yang hidup… Evakuasi yang hidup”, teriak saya berulang-ulang. Dengan inisiatif masing-masing kami menyelinap di antara rumah-rumah penduduk, mencari orang-orang yang harus diselamatkan.

Teriakan-teriakan penduduk terus terdengar, saya sudah berada di perempatan kecil menuju rumah Mbah Maridjan. Ditempat inilah kami bersepakat untuk mengumpulkan orang-orang yang berhasil kita evakuasi. Saya berlari menuju jalur arah kiri, terdengar suara teriakan lemah sekali. Saya menemukan seorang ibu mendekap anaknya, umurnya kira-kira 2 tahun.

Saya mencoba melepasnya, anak itu sudah meninggal dunia. Segera saya mengambil tindakan untuk melakukan evakuasi terhadap si ibu, pakaianya terbakar, tak ada benang sedikitpun yang melekat ditubuhnya. Dengan segala upaya saya angkat tubuh si Ibu, dia menjerit kesakitan, dia terus menangis. “Anakku yo kudu ditulung (Anak saya juga harus ditolong)”, ucapnya berulang-ulang.

Ketika sampai di perempatan, Si Ibu terus menangis, mencari-cari anaknya. “Aku ra gelem pisah, anakku endi (Saya tidak mau pisah, anakku mana)”, suaranya terbata-bata ditengah tangisannya. Saya kemudian kembali berlari kearah si anak, saya gendong anak itu. Saya sempat jatuh tersungkur tersandung kabel listrik. Sesampai di perempatan, saya tidak menemukan si ibu itu lagi karena sudah dievakuasi kebawah. Saya memandang wajah si anak, saya meneteskan air mata. Saya menyadari bahwa seorang ibu mestinya tidak bisa dipisahkan dari anaknya, dengan alasan apapun.
***

Proses evakuasi terus berlangsung, dengan peralatan seadanya. Kami menemukan sebuah almari penuh dengan tumpukan jarik, saat kantong mayat dan tandu tidak tersedia kami menggunakan jarik ini sebagai tandu darurat. Saya hitung, 12 orang berhasil kita bawa turun menuju pertigaan Ngrangkah, tempat paling atas yang bisa diakses ambulance waktu itu.

Tidak sengaja saya bertemu dengan Lik Udi, kondisinya tubuhnya terbakar hebat. “Tulungi simbah (Mbah Maridjan), mau mlebu neng omahe”, ucapnya lirih. (Tolong bantu simbah, tadi beliau masuk ke rumahnya). Saya menghela nafas panjang, saya mencoba melihat kearah rumahnya, tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Kembali saya bertemu dengan Tonden, dia membisikan, “Kita harus masuk ke rumah simbah, sekarang”, ucapnya emosional. Kemudian datang Capung, Prist dan Irfan, kita melakukan koordinasi singkat. Saya sampaikan kalau memang kita akan masuk ke kompleks rumah mbah Maridjan, yang harus kita lakukan adalah membuat exit way sambil saya menunjuk ke utara. Semua mendongak melihat Gunung Merapi, waktu itu bagian puncak merah membara.

Akhirnya kita berlima sepakat untuk menuju kompleks rumah mbah Maridjan, saya melihat Tonden orang yang paling emosional, dia teriak memanggil simbah, dia mengucapkan salam secara terus menerus. Saya menyadari betul kondisi ini. Ketika letusan Gunung Merapi tahun 2006, Tonden adalah orang yang menemani simbah hingga 6 bulan di Kinahredjo.

Kami semua berhenti di sebuah mobil APV di depan rumah simbah, saya perhatikan mobil ini dalam kondisi terbuka pintu-pintunya. Radio dalam mobil masih menyala, saiaranya tidak begitu jelas. Dibelakang mobil ini saya menemukan satu jenazah tergeletak. Saya periksa tas yang dia bawa, ada tiket pesawat Sriwijaya Air, dari Jakarta tujuan Yogyakarta atas nama Juniawan Wahyu Nugroho, tertera tanggal keberangkatan 26 Oktober 2010 pukul 13.26 wib. Belakangan saya tahu orang ini adalah jurnalis Vivanews.com yang sedang melakukan peliputan erupsi Gunung Merapi.

Berturut-turut kita menemukan 3 jenazah di rumah mbah Maridjan, di sekitar dapur, di dekat ruang gamelan dan di warung Yu Panut. Salah satu dari ketiga orang ini adalah Tutur, relawan dari PMI Bantul. Saya kemudian menelpon Komandan SAR DIY, Brotoseno. Saya melaporkan jika sudah berada di depan rumah Mbah Maridjan. Dalam komunikasi ini, saya melaporkan jika Mbah Maridjan belum ditemukan dan rumah dalam kondisi rusak parah.

Asih kemudian mendatangi kami, asih adalah putera mbah Maridjan, saat ini beliau menggantikan orangtuanya menjadi juru kunci Gunung Merapi. Asih datang dengan membawa ubo rampe sesaji termasuk dua ekor kambing warna hitam, titipan Kraton Yogyakarta. Ketika itu kita berangkulan, asih menangis melihat kondisi ini. Sedetik kemudian kita semua bersolawatan.

Kita terus melakukan pencarian, rumah Mbah Maridjan, Masjid al Amin Kinahredjo, kompleks makam, benar-benar nihil. Pada saat inilah Komandan SAR DIY, Nande dan Punpun bergabung dengan kami, kita berdiskusi tentang kemungkinan keberadaan Mbah Maridjan. Ditengah diskusi ini kami sempat diusir polisi berpangkat Kombes, kami tetap bergeming. 1 jam kemudian, akhirnya kita sepakat untuk turun dan berkoordinasi di rumah Yudha di daerah Pangukrejo, sekitar 1 km arah bawah Dusun Kinahredjo.

Di rumah Yudha inilah kemudian disepakti untuk membentuk sebuah operasi penyelamatan. Dipimpin Komandan SAR DIY, sepakat ditunjuk Capung sebagai komandan operasi dengan target Mbah Maridjan. Dibagi menjadi dua SRU (Search and Rescur Unit), unit terkecil dari sebuah operasi SAR. Satu SRU menyisir bagian atas dengan target 9 orang dan satu SRU menyisir kompleks rumah mbah Maridjan. Team penyelemat akan diberangkatkan pukul 04.00 wib keesokan harinya. Pemilihan jam ini dipercaya lebih efektif karena kita bisa melihat Gunung Merapi dengan lebih jelas diwaktu pagi hari.

Ditengah-tengah koordinasi ini kami memperoleh kabar jika Mbah Maridjan telah ditemukan dalam kondisi lemas di sebuah lereng bukit oleh anggota TNI AL. Namun jika melihat kronologisnya kami tetap percaya simbah belum diketemukan, dasarnya adalah kami adalah team yang berada di paling atas dan tidak menjumpai anggota TNI AL ikut operasi penyelamatan.

Malam itu saya sempat menghubungi istri saya, saya infokan jika saya sudah turun dari Kinahredjo dan akan melanjutkan operasi keesokan harinya. Dari istri saya inilah saya mendapat kabar jika dicari dua orang journalist TV nasional. Kemudian saya berkomunikasi dengan keduanya, diujung telepon, Angga contributor TVOne Wilayah Yogyakarta mengatakan, “Mas, saya minta gambar evakuasinya”, ujarnya.

Saya katakan, jika saya tidak mengambil gambar karena alasan tehnis pencahayaan, meski saya membawa handycam. Apalagi saya juga tidak tega melihat team evakuasi minim dengan tenaga,  sementara saya merekam aktifitas teman-teman. Dari perbincangan itu, kemudian saya memberi info jika Mbah Maridjan belum ditemukan dan akan kita cari keesokan harinya. Akhirnya kita sepakat untuk menjemput kameraman TVOne di depan Bali Desa Umbulharjo.

Ketika berjumpa dengan Angga, baru saya sadar jika stasiun TV competitor TVOne yakni MetroTV telah menayangkan proses evakuasi di pertigaan Ngrangkah. Produsernya Angga sampai mengancam melakukan pemecatan jika tidak memperoleh rekaman proses evakuasi. Atas dasar inilah saya memutuskan untuk membantu membuka akses operasi evakuasi Mbah Maridjan. Belakangan TVOne memang mendapatkan gambar eksklusif proses evakuasi Mbah Maridjan. Itu saya lakukan tanpa koordinasi dengan teman-teman, maafkan saya teman…
***

Tepat pukul 04.00 wib team kembali bergerak kembali keatas, 2 SRU langsung bergerak sesuai dengan scenario yang ditetapkan. SRU 1 menuju rumah mbah Maridjan sempat menemukan 1 jenazah yang berhasil diidentifikasi yaitu Narudi, putra Lik Udi. SRU ini terus bergegas, menuju satu titik yang berhasil kita identifikasi merupakan titik duga keberadaan simbah.

Akhirnya tepat pukul 05.05 wib SRU 1 berhasil menemukan Mbah Maridjan dalam posisi sujud menghadap barat selatan di sebuah kamar samping dapur kediaman beliau. Jenazahnya tertutup asbes dan tertindih sebuah batang kayu. Spontan para team penyelamat bersholawatan, ada yang menitikan air mata, ada yang membersihkan badan dan kepala beliau dari abu vulkanik Gunung Merapi.

Jenazahnya kita masukkan ke kantong mayat yang sudah dipersiapkan, kemudian kita beri tanda huruf capital, M dan diberi kotak bagian luarnya. Jenazah dibawa dengan mobil milik anggota SAR DIY, Pun-Pun menuju Rumah Sakit Sardjito dengan ditemani Irfan dan Jack yang juga anggota SAR DIY. Selamat jalan simbah… tak terasa sudah satu tahun yang lalu kejadian telah berlangsung.

Oleh: Sipey, anggota Kapalasastra UGM, pernah mengurusi Sekber PPA DIY, SAR DIY, Social Worker.