Kewajiban memang senantiasa berimpit dengan hak. Karena itu, jangan sampai selalu bicara hak tapi melupakan kewajiban. Begitu pula sebaliknya--Sudijono.

Jumat, Oktober 28, 2011

Menjemput Mbah Maridjan

Proses Evakuasi Korban Erupsi Merapi
Ponselku tiba - tiba berdering, teman saya Bobby seorang video journalist dari Al Jazeera memberi kabar. “Saya sudah di Jogja, sekarang sudah diatas, dekat rumah mbah Maridjan”, katanya agak terburu-buru. Sore itu, hari selasa, tanggal 26 Oktober 2010, pukul 16.00 wib saya berada di Ringroad utara depan monument Jogja Kembali, hujan sangat lebat. Saya terdampar disebuah rumah makan bersama Kinanti, anaku yang masih berumur 5 tahun kala itu. Saya mencoba melihat ke utara, semua gelap, hujan lebat membatasi pandangan saya. Kembali saya hanya bisa menunggu hujan mereda.

Kembali Bobby menelpon saya, “Mas, awan panas besar sekali, hujan batu dan pasir, saya meluncur turun mas”, katanya sangat panik. Saya terhenyak, perasaan saya campur aduk. Segera saya bergegas pulang, meski hujan sangat lebat. Saya harus naik ke Kinahrejo segera, perintah hati itu terus terucap di batin saya sepanjang perjalanan pulang menuju rumah.

Segera saya klik on pesawat radio yang terpasang di rumah, saya putar beberapa frekuensi yang berhubungan dengan Merapi, semua krodit, beritanya simpang siur. Segera  saya memacu sepeda motor, 15 menit kemudian saya sudah berada di pertigaan Balai Desa Umbulharjo. Kepanikan luar biasa terlihat ratusan orang yang ada disana.

Saya bertemu dengan Tonden, seorang pecinta alam senior Yogyakarta yang punya kedekatan khusus dengan Mbah Maridjan. Saya juga bertemu dengan Capung, bos dari Komunitas Lereng Merapi (KLM). Saya melihat kedua orang ini cukup panik. “Pey, Kinahredjo chaos, tidak ada orang diatas. Kita harus naik keatas”, ujar Capung kepada saya.

Mobil double cabin, milik Cahyo Alkantana menjemput kami. Selain saya, Capung dan Tonden ada beberapa teman yang ikut bersama kami, termasuk Iqbal anggota Kapakata yang sudah sekian tahun tidak bertemu. Juga ada Arbow, wartawan foto Tempo yang kebetulan bertemu di pertigaan Balai Desa Umbulharjo.

Perjalanan 10 menit itu cukup menegangkan, debu ada dimana-mana, pohon bertumbangan, rumah-rumah penduduk kosong ditingggalkan pemiliknya. Perjalanan kami terhambat pohon besar yang tumbang diatas pertigaan Ngrangkah. Team chainsaw mencoba memotong untuk membuka jalur ambulance masuk Kinahredjo.

Saya terus berjalan,  dibalik pohon saya menemukan jenazah di dekat sebuah motor, pikirku orang ini mencoba melarikan diri namun keburu awan panas menyergapnya. Saya tercekat, Kinahredjo porak poranda, api terlihat dimana-mana. Teriakan minta tolong sayup-sayup terdengar dari berbagai penjuru Kinahredjo.

Kami terus bergerak, debu tebal dan kondisi panas tidak menghalangi langkah saya. “Evakuasi yang hidup… Evakuasi yang hidup”, teriak saya berulang-ulang. Dengan inisiatif masing-masing kami menyelinap di antara rumah-rumah penduduk, mencari orang-orang yang harus diselamatkan.

Teriakan-teriakan penduduk terus terdengar, saya sudah berada di perempatan kecil menuju rumah Mbah Maridjan. Ditempat inilah kami bersepakat untuk mengumpulkan orang-orang yang berhasil kita evakuasi. Saya berlari menuju jalur arah kiri, terdengar suara teriakan lemah sekali. Saya menemukan seorang ibu mendekap anaknya, umurnya kira-kira 2 tahun.

Saya mencoba melepasnya, anak itu sudah meninggal dunia. Segera saya mengambil tindakan untuk melakukan evakuasi terhadap si ibu, pakaianya terbakar, tak ada benang sedikitpun yang melekat ditubuhnya. Dengan segala upaya saya angkat tubuh si Ibu, dia menjerit kesakitan, dia terus menangis. “Anakku yo kudu ditulung (Anak saya juga harus ditolong)”, ucapnya berulang-ulang.

Ketika sampai di perempatan, Si Ibu terus menangis, mencari-cari anaknya. “Aku ra gelem pisah, anakku endi (Saya tidak mau pisah, anakku mana)”, suaranya terbata-bata ditengah tangisannya. Saya kemudian kembali berlari kearah si anak, saya gendong anak itu. Saya sempat jatuh tersungkur tersandung kabel listrik. Sesampai di perempatan, saya tidak menemukan si ibu itu lagi karena sudah dievakuasi kebawah. Saya memandang wajah si anak, saya meneteskan air mata. Saya menyadari bahwa seorang ibu mestinya tidak bisa dipisahkan dari anaknya, dengan alasan apapun.
***

Proses evakuasi terus berlangsung, dengan peralatan seadanya. Kami menemukan sebuah almari penuh dengan tumpukan jarik, saat kantong mayat dan tandu tidak tersedia kami menggunakan jarik ini sebagai tandu darurat. Saya hitung, 12 orang berhasil kita bawa turun menuju pertigaan Ngrangkah, tempat paling atas yang bisa diakses ambulance waktu itu.

Tidak sengaja saya bertemu dengan Lik Udi, kondisinya tubuhnya terbakar hebat. “Tulungi simbah (Mbah Maridjan), mau mlebu neng omahe”, ucapnya lirih. (Tolong bantu simbah, tadi beliau masuk ke rumahnya). Saya menghela nafas panjang, saya mencoba melihat kearah rumahnya, tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Kembali saya bertemu dengan Tonden, dia membisikan, “Kita harus masuk ke rumah simbah, sekarang”, ucapnya emosional. Kemudian datang Capung, Prist dan Irfan, kita melakukan koordinasi singkat. Saya sampaikan kalau memang kita akan masuk ke kompleks rumah mbah Maridjan, yang harus kita lakukan adalah membuat exit way sambil saya menunjuk ke utara. Semua mendongak melihat Gunung Merapi, waktu itu bagian puncak merah membara.

Akhirnya kita berlima sepakat untuk menuju kompleks rumah mbah Maridjan, saya melihat Tonden orang yang paling emosional, dia teriak memanggil simbah, dia mengucapkan salam secara terus menerus. Saya menyadari betul kondisi ini. Ketika letusan Gunung Merapi tahun 2006, Tonden adalah orang yang menemani simbah hingga 6 bulan di Kinahredjo.

Kami semua berhenti di sebuah mobil APV di depan rumah simbah, saya perhatikan mobil ini dalam kondisi terbuka pintu-pintunya. Radio dalam mobil masih menyala, saiaranya tidak begitu jelas. Dibelakang mobil ini saya menemukan satu jenazah tergeletak. Saya periksa tas yang dia bawa, ada tiket pesawat Sriwijaya Air, dari Jakarta tujuan Yogyakarta atas nama Juniawan Wahyu Nugroho, tertera tanggal keberangkatan 26 Oktober 2010 pukul 13.26 wib. Belakangan saya tahu orang ini adalah jurnalis Vivanews.com yang sedang melakukan peliputan erupsi Gunung Merapi.

Berturut-turut kita menemukan 3 jenazah di rumah mbah Maridjan, di sekitar dapur, di dekat ruang gamelan dan di warung Yu Panut. Salah satu dari ketiga orang ini adalah Tutur, relawan dari PMI Bantul. Saya kemudian menelpon Komandan SAR DIY, Brotoseno. Saya melaporkan jika sudah berada di depan rumah Mbah Maridjan. Dalam komunikasi ini, saya melaporkan jika Mbah Maridjan belum ditemukan dan rumah dalam kondisi rusak parah.

Asih kemudian mendatangi kami, asih adalah putera mbah Maridjan, saat ini beliau menggantikan orangtuanya menjadi juru kunci Gunung Merapi. Asih datang dengan membawa ubo rampe sesaji termasuk dua ekor kambing warna hitam, titipan Kraton Yogyakarta. Ketika itu kita berangkulan, asih menangis melihat kondisi ini. Sedetik kemudian kita semua bersolawatan.

Kita terus melakukan pencarian, rumah Mbah Maridjan, Masjid al Amin Kinahredjo, kompleks makam, benar-benar nihil. Pada saat inilah Komandan SAR DIY, Nande dan Punpun bergabung dengan kami, kita berdiskusi tentang kemungkinan keberadaan Mbah Maridjan. Ditengah diskusi ini kami sempat diusir polisi berpangkat Kombes, kami tetap bergeming. 1 jam kemudian, akhirnya kita sepakat untuk turun dan berkoordinasi di rumah Yudha di daerah Pangukrejo, sekitar 1 km arah bawah Dusun Kinahredjo.

Di rumah Yudha inilah kemudian disepakti untuk membentuk sebuah operasi penyelamatan. Dipimpin Komandan SAR DIY, sepakat ditunjuk Capung sebagai komandan operasi dengan target Mbah Maridjan. Dibagi menjadi dua SRU (Search and Rescur Unit), unit terkecil dari sebuah operasi SAR. Satu SRU menyisir bagian atas dengan target 9 orang dan satu SRU menyisir kompleks rumah mbah Maridjan. Team penyelemat akan diberangkatkan pukul 04.00 wib keesokan harinya. Pemilihan jam ini dipercaya lebih efektif karena kita bisa melihat Gunung Merapi dengan lebih jelas diwaktu pagi hari.

Ditengah-tengah koordinasi ini kami memperoleh kabar jika Mbah Maridjan telah ditemukan dalam kondisi lemas di sebuah lereng bukit oleh anggota TNI AL. Namun jika melihat kronologisnya kami tetap percaya simbah belum diketemukan, dasarnya adalah kami adalah team yang berada di paling atas dan tidak menjumpai anggota TNI AL ikut operasi penyelamatan.

Malam itu saya sempat menghubungi istri saya, saya infokan jika saya sudah turun dari Kinahredjo dan akan melanjutkan operasi keesokan harinya. Dari istri saya inilah saya mendapat kabar jika dicari dua orang journalist TV nasional. Kemudian saya berkomunikasi dengan keduanya, diujung telepon, Angga contributor TVOne Wilayah Yogyakarta mengatakan, “Mas, saya minta gambar evakuasinya”, ujarnya.

Saya katakan, jika saya tidak mengambil gambar karena alasan tehnis pencahayaan, meski saya membawa handycam. Apalagi saya juga tidak tega melihat team evakuasi minim dengan tenaga,  sementara saya merekam aktifitas teman-teman. Dari perbincangan itu, kemudian saya memberi info jika Mbah Maridjan belum ditemukan dan akan kita cari keesokan harinya. Akhirnya kita sepakat untuk menjemput kameraman TVOne di depan Bali Desa Umbulharjo.

Ketika berjumpa dengan Angga, baru saya sadar jika stasiun TV competitor TVOne yakni MetroTV telah menayangkan proses evakuasi di pertigaan Ngrangkah. Produsernya Angga sampai mengancam melakukan pemecatan jika tidak memperoleh rekaman proses evakuasi. Atas dasar inilah saya memutuskan untuk membantu membuka akses operasi evakuasi Mbah Maridjan. Belakangan TVOne memang mendapatkan gambar eksklusif proses evakuasi Mbah Maridjan. Itu saya lakukan tanpa koordinasi dengan teman-teman, maafkan saya teman…
***

Tepat pukul 04.00 wib team kembali bergerak kembali keatas, 2 SRU langsung bergerak sesuai dengan scenario yang ditetapkan. SRU 1 menuju rumah mbah Maridjan sempat menemukan 1 jenazah yang berhasil diidentifikasi yaitu Narudi, putra Lik Udi. SRU ini terus bergegas, menuju satu titik yang berhasil kita identifikasi merupakan titik duga keberadaan simbah.

Akhirnya tepat pukul 05.05 wib SRU 1 berhasil menemukan Mbah Maridjan dalam posisi sujud menghadap barat selatan di sebuah kamar samping dapur kediaman beliau. Jenazahnya tertutup asbes dan tertindih sebuah batang kayu. Spontan para team penyelamat bersholawatan, ada yang menitikan air mata, ada yang membersihkan badan dan kepala beliau dari abu vulkanik Gunung Merapi.

Jenazahnya kita masukkan ke kantong mayat yang sudah dipersiapkan, kemudian kita beri tanda huruf capital, M dan diberi kotak bagian luarnya. Jenazah dibawa dengan mobil milik anggota SAR DIY, Pun-Pun menuju Rumah Sakit Sardjito dengan ditemani Irfan dan Jack yang juga anggota SAR DIY. Selamat jalan simbah… tak terasa sudah satu tahun yang lalu kejadian telah berlangsung.

Oleh: Sipey, anggota Kapalasastra UGM, pernah mengurusi Sekber PPA DIY, SAR DIY, Social Worker.

0 komentar:

Posting Komentar